SELAMAT DATANG DI JAYAPURA
Pagi itu, hari Selasa 7 Oktober 2008 Aku bersama istriku cukup sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Jayapura. Satu koper kecil dan satu tas punggung kecil Aku jejali dengan pakaian yang akan kami pakai selama lima hari di Jayapura nanti, sementara laptop Aku masukkan tas Bodypack butut kesayangan yang memang khusus untuk laptop.
Istriku sedang sibuk mengemasi satu tas plastik yang ia isi makanan dan minuman yang akan kami bawa. Aku sendiri menyetrika baju yang akan kami pakai untuk keberangkatan hari ini. Ibu mertuAku juga ikut sibuk membungkus nasi yang akan kami bawa sebagai bekal selama perjalanan. Jam sebelas siang istriku berangkat ke kampus UI untuk mengambil biaya operasional project penelitian GF ATM (Global Fund for AIDS, TBC and Malaria) yang akan kami jalani di Jayapura nanti. Hanya saja untuk project kali ini adalah khusus untuk project Evaluasi Malaria. Aku di rumah mengurusi tetek bengek yang nanti akan kami bawa. Obat Malaria juga kami siapkan, kami tidak ingin sepulang dari Jayapura juga kena Malaria.
Propinsi Papua adalah daerah endemic Malaria. Minyak kayu putih, balsam, obat sakit kepala, pembalut, sampo, sabun mandi, sikat gigi, odol, dan Antangin tak lupa juga Aku siapkan. Aku sendiri soalnya sering masuk angin jika perjalanan jauh. Aku menyiapkan semuanya bukan tanpa alasan, kata Bu Sunday guide kami yang sekaligus juga pegawai Dinkes Jayapura mengatakan kalau harga-harga di sana jauh lebih mahal dibandingkan di Bojonggede Bogor, tempat tinggal kami. Jam tiga sore selepas ashar kami berangkat dari Bojonggede dengan naik kereta ekonomi, turun di Stasiun Pasar Minggu lalu naik bis Damri di terminal Pasar Minggu menuju Bandara Sukarno Hatta. Seharusnya kami check in jam delapan malam nanti untuk penerbangan Lion Air yang berangkat jam 22.10 WIB nanti, tapi kami tidak mau mengambil resiko terjebak kemacetan Jakarta yang bikin sakit hati, kepala puyeng dan terlambat check in. Amit-amit deh kalau sampai ketinggalan pesawat, ticketnya kan mahal. Untung ticket istriku ditanggung sama biaya project, kalau Aku kan pakai dana pribadi. Magrib kami sampai di Bandara Sukarno Hatta, istirahat sejenak, lalu shalat magrib dan mampir ke ATM untuk mentransfer uang ke adikku di kampung, tepatnya desa Sumberejo kecamatan Japah Kabupaten Blora untuk tambahan biaya sawah yang Aku di bulan Ramadhan kemarin.
Menjelang isya kami makan bekal yang tadi kami bawa, tak lupa minum obat anti malaria sebagai pencegahan. Kami bertemu dengan rekan istriku yang juga akan berangkat ke Jayapura. Istriku dan dia ditugaskan di propinsi yang sama tapi beda area. Istriku di Dinkes Propinsi Papua, Dinkes Kota Jayapura dan Dinkes Kabupaten Keerom. Rekan istriku kalau tidak salah di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Jayawijaya. Istriku sebenarnya dari awal memang diminta untuk menemani rekannya tersebut selama perjalanan dari Jakarta sampai di Jayapura. Aku tak tahu kenapa istriku menolak menemaninya, belakangan Aku baru tahu kalau ternyata rekan tersebut memang gadis yang cukup menyebalkan. Tidak enak di ajak ngobrol, muka ditekuk terus menerus dan jutek, tidak simpatik, dan suka menyalahkan orang lain. Dia lebih shock lagi pada saat tahu istriku menggandengku saat menemuinya. Akhirnya dia mendiamkan kami, semprul tenan... Saat sudah check in ke dalam bandara Sukarno Hatta dan transit di Bandara Sultan Hassanudin Makassar Aku coba ajak komunikasi dengannya, berbicara baik-baik, mengajak bercanda, tapi tak ada tanggapan yang menyenangkan.
Jawabannya singkat, antara iya dan tidak, nanti dan belum dan jawaban singkat lainnya yang hampir membuatku naik pitam. Saat menjawab pertanyaanku wajahnya ditekuk tak melihatku apalagi melihat istriku, tangan asyik bermain dengan ponsel Sony Ericson-nya. Semprul tenan, cantik-cantik kok kayak benda mati gini. Aku sendiri akhirnya jadi berkesimpulan sampai usianya yang sudah meleawati kepala tiga gini kok belum kawin-kawin ya karena sikapnya yang menyebalkan itu. Akhirnya dari sejak dari Bandara Makassar itu Aku lebih memilih diam. Istriku nyeletuk dengan muka kecutnya sambil meledekku. ”Sekarang mas sudah tahu kan kenapa adek ga mau bareng ma dia?. Ya begitu itu orangnya. Adek aja pernah dibikin nangis-nangis ama dia”.
Di Bandara Sultan Hassanudin Makassar kami hanya istirahat sebentar. Aku dan istriku masih sempat makan nasi bungkus yang disiapkan oleh Ibu MertuAku tadi, makan kue, minum dan sempat kencing juga. Panggilan dari petugas Bandara menyadarkan kami untuk segera naik pesawat menuju Jayapura. Sudah ada banyak perombakan besar-besaran pada bandara Sultan Hassanudin Makassar ini. Terakhir Aku transit ke bandara ini pada hari Senin, 5 Maret 2007. Jadi itu satu setengah tahun yang lalu. Berbeda sekali pada waktu itu karena saat ini bandara di Makassar ini telah menjadi Bandara bertaraf internasional, bahkan jika Aku bandingkan sepertinya lebih bagus dari Bandara Juanda di Surabaya. Fasilitasnya sudah lumayan lengkap, baik itu conveyor belt-nya, sistem keamanan, toilet, restoran dan waiting room-nya. Bandara Makassar sekarang jika dilihat dari landasan atau dari luar desainnya mirip seperti aquarium, dan kita adalah ikan-ikannya.
Hal yang menurutku paling menyebalkan adalah antrian panjangnya pada saat mau masuk ke waiting roomnya. Dari dua conveyor belt yang dipasang, hanya satu yang difungsikan, jengkel banget kan? Apa mungkin Bandara kekurangan tenaga kerja? Ada saran dari Aku untuk masalah penerbangan pesawat di Indonesia. Jika kita mau menikmati penerbangan jarak jauh dengan harga murah plus bonus kelaparan dan kehausan di dalam pesawat ya naik Lion Air, tapi jika tidak, pilihlah maskapai penerbangan lain yang lebih manusiawi. Jangan berharap kita hampir mati kehausan di pesawat terus dikasih air sama pramugarinya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta lalu transit Makassar dan akhirnya menuju ke Jayapura tidak ada air segelas pun yang dihidangkan oleh pramugari kepada kami, apa lagi makanan.
Penerbangan yang murah tapi tidak manusiawi menurutku. Jika kita makan tapi tidak bawa air dan uang terbatas lalu tersedak, ya siap-siaplah minta minum teman sebelah jika kuat malu. Kalau tidak kuat malu ya minum saja air toilet. Kalau tidak mau lagi, siap-siap saja mati keselek atau keloloden (tersedak) makanan. Yang Aku lihat justru malah pramugari-pramugarinya yang cantik melAkukan fashion show dengan menjual makanan dan minuman yang harganya lima sampai sepuluh kali lipat dari harga normal.
Bagi yang berkantong cekak kayak kami ya mikir-mikirlah buat beli makanan atau minuman itu. Saking jengkelnya Aku sampai bilang ke pramugarinya. “Mbak, mentang-mentang sepanjang perjalanan udara ga ada warung jangan mahal-mahal dong jual makanan dan minumannya.” Pramugari menanggapi kata-katAku itu dengan senyum “manisnya”. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Makassar Aku tak bisa tidur, hanya istriku yang bisa tidur pulas. Aku baru bisa tidur pada perjalanan dari Makassar ke Jayapura, itu pun hanya dua jam. Jam 05.00 WIB atau jam 07.00 WIT kami sampai di atas langit Irian Barat, sebuah propinsi yang dulu dipertahankan mati-matian oleh Presiden Sukarno dengan TRIKORA-nya. Dari jendela pesawat pemandangan begitu indah, terlihat hijau bagaikan karpet dan permadani yang terhampar begitu luas. Pada bagian hutan dari atas jendela pesawat terlihat seperti karpet hijau kasar, sedangkan yang sabana/padang rumputnya terlihat seperti karpet hijau yang halus. Istriku pun mengatakan bahwa Irian Jaya bagaikan Amazzon-nya Indonesia.
Sayang sekali jika alam seindah ini menjadi rusak atau dikuasai oleh bangsa lain. Rasa kebangsaanku tiba menyeruak muncul, dadAku sesak, bangga akan perjuangan pahlawan-pahlawan dan para pejuang yang dulu dengan susah payah dan rela mengorbankan dirinya pada saat perebutan pulau ini dengan Belanda. Jam 07.15 WIT kami mendarat di Bandara Sentani Jayapura. Ini berarti di Jakarta baru jam 05.15 WIB. Istriku mulai sibuk menghidupkan HP dan mengirim SMS memberi tahu bahwa kami berdua telah sampai dengan selamat di Sentani.
Istriku sengaja segera memisahkan diri dari rekannya, menelpon Bu Sunday guide kami dan mempersiapkan mobilnya. Aku bertugas mengambil bagasi. Bu Sunday sebenarnya asli Surabaya, suaminya adalah orang Irian Jaya asli (tepatnya dari Serui), dr. Cleimens namanya yang bekerja sebagai Direktur Perawatan di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta setelah sebelumnya menjabat sebagai Pimpinan di RSUD Jayapura. Di Jayapura Bu Sunday bekerja di Dinkes Propinsi Jayapura dan memiliki apotik yang berada di dekat Rumah Sakit Umum Jayapura, namanya Apotik Sumber Kasih. Kedua anak mereka kuliah di FAkultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Aku kenal dengan anak pertamanya karena kami pernah di ajak jalan-jalan dan makan malam di kawasan elit di Pakuwon dan daerah perumahan Darmo Permai di Surabaya. Saat itu Bu Sunday berkonsultasi tentang thesisnya kepada istriku. Mobil Daihatsu Taruna milik Bu Sunday segera membawa kami dari Bandara Sentani menuju kantor GF ATM Jayapura.
Sepanjang perjalanan Bu Sunday banyak bercerita kepada kami tentang kota Jayapura, budaya hidup lokal, alamnya, malaria yang dianggap seperti sakit flu atau masuk anginnya orang Jawa dan masih susahnya berinvestasi di daerah tersebut karena masalah hukum adat pelepasan tanah yang begitu ruwet.
Jalanan yang sekelilingnya masih begitu hijau, langit yang cerah dan jauh dari polusi, udara yang bersih, kontras dengan keadaan di Jakarta yang begitu berdebu, udara yang kotor, kemacetan yang bikin sakit hati dan langit yang kalau malam kita susah melihat bintang. Setelah hampir limapuluh menit perjalanan kami sampai di GF ATM. Pak Wimbadi Sigit, Project Officer GF ATM menyambut kami dan menyediakan minuman dingin yang segar. Aku tahu istriku harus mempersiapkan FGD untuk program Malaria GFATM ini. Itu artinya istriku harus mengundang Kadinkes Kota Jayapura, Kadinkes Propinsi Papua, Bappeda, pihak RSUD, dan dari pihak GF sendiri untuk berdiskusi dalam satu forum. Aku juga harus siap membantu istriku, mungkin mondar-mandir mengirimkan undangan.
Kami berbincang sejenak dengan Pak Sigit. Beliau memberikan pengarahan kepada istriku. Menjelaskan bahwa bukan hal yang mudah untuk mengundang banyak pihak untuk melaksanakan FGD dalam waktu sesingkat ini. Dan bukanlah hal yang mudah mendapatkan laporan yang lengkap tentang Malaria di Dinkes Kota atau Dinkes Propinsi. Budaya kerja di tempat ini memang berbeda jauh dengan yang kami temui selama ini di Jakarta. Kebanyakan baru masuk kantor menjelang jam sembilan siang. Jam satu siang kantor sudah sepi, tinggal setan kantor yang berkeliaran di dalam kantor karena sudah ditinggal penghuninya. Mungkin inilah penyebabnya kenapa negara ini tidak maju-maju. Bu Sunday juga memberikan petuahnya kepada kami, beliau juga mencarikan penginapan bagi kami berdua selama berada di Jayapura ini. Setelah dari GF ketemu dengan Pak Sigit, kami sarapan di warung Mbok Djanu dekat RSUD Jayapura. Warung yang menyediakan porsi yang begitu besar, Aku dan istri Aku juga tidak mampu untuk menghabiskannya. Belakangan Aku tahu dari Bu Sunday bahwa porsi makan orang-orang di Jayapura memang sebanyak itu. Hebat deh nafsu makan orang sini.... Hari pertama (Rabu, 8 Oktober 2008) dari hari Selasa kemarin sampai sore tidak mandi, jadi ya hampir dua hari kami tak mandi. Kedatangan kami pertama kali di Jayapura kepontang-panting karena harus segera mengirimkan undangan FGD untuk hari Jum’at, 10 Oktober 2008 besok. Pertama undangan ke GF, lalu ke Bapedda, lalu ke RSUD, ke Dinkes Propinsi dan Dinkes Kota Jayapura. Pada saat di Dinkes Propinsi Aku sendiri hampir pingsan karena muntah-muntah. Apa yang tadi Aku makan di warung Mbok Djanu keluar semua. Penyakit biasa, yaitu masuk angin. Penyakit terkenal yang susah untuk Aku sebut nama ilmiahnya. Pada saat kunjungan ke RSUD Jayapura pun ada hal yang menurut kami jorok. Cat dinding rumah sakit banyak yang coreng moreng berwarna merah darah. Awalnya Aku menduga itu akan dicat ulang dengan warna merah tapi ternyata dugaan Aku itu salah. Kata kepala Laboratorium rumah sakit, warna merah darah di dinding itu karena kebiasaan orang-orang lokal yang makan pinang dan sirih lalu meludahkan air ludahnya yang berwarna merah ke sembarang tempat, salah satunya ya ke dinding rumah sakit. Padahal di sana-sini banyak sekali larangan untuk meludah. Hal unik Aku temukan di RSUD Jayapura adalah adanya dua larangan yang dipasang besar-besar karena saking mengganggunya. Yaitu: 1. DILARANG MEROKOK DALAM RUANGAN INI dan 2. DILARANG MEMBUANG LUDAH SEMBARANGAN atau DILARANG MAKAN PINANG. Tapi ternyata larangan ini juga Aku temukan juga di Bandara Sentani pada saat mau pulang balik ke Jakarta. Bahkan larangannya malah komplit dengan gambar orang meludah yang disilang merah. Hebat kan? Di Jayapura, orang-orang lokal yang memakan pinang dan sirih adalah hal yang biasa. Kakek, nenek, bapak, ibu dan bahkan anak-anak kecil juga banyak yang makan pinang. Pegawai-pegawai di Dinas Kesehatan, rumah sakit, guru dan banyak orang umum lainnya yang notabene orang-orang lokal ternyata juga mempunyai kebiasaan makan pinang. Kebanyakan dari mereka sudah kecanduan untuk makan pinang. Jika mereka berhenti sehari saja katanya kepala sudah pusing-pusing tidak karuan. Gigi mereka jadi merah karena sering makan pinang. Jika Anda mau mencoba makan pinang di sini, harga perporsi buah pinang dan kapur cuma seribu rupiah, bahkan kadang ada bonus dengan sirihnya. Murah kan? Kebiasaan makan pinang ini agak berbeda dengan kebiasaan di Jawa atau di Sumatra. Di sini, pinang yang dimakan adalah buah pinang yang masih muda. Kapur untuk teman makan pinangnya pun kapur kering berbentuk bubuk, sedangkan kalau di Jawa dan Sumatra memakain kapur basah sebagai campuran. Hal yang paling berbeda adalah cara membuang ludahnya... Menjelang jam lima sore waktu setempat kami sudah menyelesaikan pengiriman undangan FGD. Kami istirahat di penginapan, mandi dan tak lupa minum obat anti malaria. Malam kami diajak jalan-jalan oleh Bu Sunday untuk makan dan melihat kota Jayapura di waktu malam. Suasana malam di Jayapura gimana ya? Inilah yang menurutku sangat kontras. Siang tadi saat kami melewati jalanan di kota Jayapura sangat sepi. Tapi malam ini jalanan begitu padat bahkan untuk mencari tempat parkir juga sangat susah. Masalah makanan di Jayapura, kami tak mengalami masalah dengan menunya, tapi masalah harga tolong ya, jangan dibandingkan dengan di pulau Jawa atau Pulau Sulawesi. Harga makanan di sini lebih mahal satu setengah kali sampai tiga kali dari harga kalau kita makan di kedua pulau itu. Dalam hal ini guide kami sudah memberitahukannya dari awal sejak keberangkatan kami dari Jakarta. Penjual makanan kebanyakan juga pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Masakan Padang, masakan asli suku istriku juga banyak Aku temukan di Jayapura. Para pedagang toko kelontong, toko-toko emas dan pengrajin emas justru kebanyakan malah orang-orang keturunan Cina. Kebanyakan para pendatang inilah yang sepertinya menghidupkan malam dan membuat geliat ekonomi di kota ini hidup. Lalu warga lokalnya jualan apa? Kebanyakan jualan hasil bumi dan yang khas adalah jualan sirih dan pinang. Menjelang jam sembilan malam kami menuju warung internet yang dekat dengan pantai. Istriku mendownload format penulisan laporan penilitian yang saat ini dilaksanakan. Selanjutnya kami pulang dan tidur nyenyak karena kelelahan. Bersambung...