Duhh...hati saya rasanya berbunga-bunga karena si Deddy teman saya kasih tahu ke saya kalau ada cabe di Wellington yang harganya lumayan murah dan pedasnya mantap. Akhirnya habis pulang kuliah saya bersama istri berkunjung ke toko yang direkomendasikan sama si Deddy yaitu sebuah minimarket milik orang China.
Minimarket milik orang China itu berada di Dixon Street, dekat dengan Cuba Street dan Manners Mall serta segaris dengan Courtenay Place. Setelah ngubek-ngubek isi toko hampir 3 menitan saya dan istri menemukan cabe impian kami. Huff..., lega rasanya. Soalnya kami berdua malu, orang masuk ke toko kok cuma cari cabe, seharga NZ$ 4,99 lagi.
Bicara tentang cabe, di Wellington pada khususnya dan di New Zealand pada umumnya, cabe adalah barang mahal. Soalnya orang Kiwi juga nggak suka makanan pedas-pedas, paling hanya orang Asia saja yang hobi makan pedas. Lada hitam saja tak akan cukup untuk memuaskan rasa pedas dambaan Indonesia.
Ada beberapa toko dan tempat yang memang menyediakan cabe untuk Anda beli. Beberapa harganya mahal banget karena satu kilogram cabe mencapai NZ$ 40 (Rp. 240.000), itu juga rasanya nggak pedas, kurang mantap deh pokoknya. Kalau mau agak murah (sekitar NZ$ 2 perpack (1 ons) ya di Sunday Market, tapi masalahnya kita rajin ngga nyamperin ke sana tiap minggu? Jadi kayaknya pilihan untuk beli cabe yang lumayan segar ya di Dixon Street ini deh.
Alternatif lain? Sabar yah... Nanti saya posting lagi kalau sudah ketemu.
Download Billing Internet MyCafecup 2, click here.
Internet cafe software and Cyber Cafe Software from MyCafeCup is a software for operating Internet Cafe, Cyber Cafe, Game Center, Gaming Cafe and PC rental Cafe shop. It has been designed for use in an Internet coffee shop, although it can be used for intranet PC controlling. My Cafe Cup is an online real-time way to manage your client machines via monitoring and locking in order to process PC rentals. It offers secure access to client...
CompuEx Express Accounting - Free Edition - Version 2.0, Fully functional, commercial-grade, FREE Accounting Software. A Single Company, Single User, Single Currency Small Business Management and Accounting Software, offers a comprehensive suite.
Wellington Dragon Boat Festival available in English, click here.
Event ini dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu, 21-22 Maret 2009. Acara yang cukup meriah. Ada beberapa tim yang ikut berlomba. Hanya saja saya nggak tahu berapa timnya.
Saat itu saya berdua bersama istri. Istri kan kerja paruh waktu di Te Papa Museum, jadi pas pulang saya jemput. Kami sempatkan berjalan-jalan di Wellington Harbour cukup lama karena pingin nonton Wellington Dragon Boat Festival. Ada beberapa ratus foto yang sempat saya ambil bersama istri.
Acara ini cukup meriah karena banyak turis yang datang, even nasional tapi bisa dimanfaatkan oleh agen-agen wisata New Zealand sehingga supporter nggak hanya datang dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Termasuk saya sama istri ini. Hehe...
Acara ini dilaksanakan dengan Sunday Market, jadi cukup strategis. Soalnya hari Minggu saya bisa sekalian belanja.
Silakan download Peta Kota Semarang (map) di sini.
Gunungpati, Sekarang, bis GP, Sampangan, Jatingaleh dan Semarang. Sekaran, ada banyak kenangan tertinggal di sana. Terkadang saya merindukan untuk kembali ke sana, oleh karenanya sesekali bersama istri saya berkunjung ke Sekaran. Ke kampus dimana saya dulu menyelesaikan kuliah.
Unnes, saya memulai kehidupan kuliah dari bawah. Dengan bantuan kakak-kakak yang begitu support pada saya, orang tua yang tidak mampu untuk membiayai kuliah saya. Setiap kali pulang ke Blora, Ibu selalu membekali saya beras 10 kilogram untuk makan sebulan dan sambal kacang yang dibuat seperti bola. Sambal kacang ini cadangan jika saya sudah tak punya uang untuk membeli sayur, tapi juga kadang jadi makanan utama.
Saya kadang makan beras mentah karena tak punya uang lagi untuk belanja dan makan. Warung mbak Yayuk di Sekarang, mbak Kom, Bu Sinah dan warung di Gang Pete adalah langganan saya. Karena dengan uang Rp. 3.000 saya bisa makan sehari.
Berbagai macam pekerjaan part time saya jalani untuk menopang biaya kuliah saya. Mulai dari jadi tukang gali tanah, tukang kayu, tukang sensus hutan, jadi penjaga rental komputer dan hampir semua pekerjaan kasar saya jalani untuk bisa kuliah. Alhamdulillah, karena keterpaksaan itu saya bisa menulis beberapa artikel di media cetak dan mengajar komputer. Beberapa beasiswa alhamdulillah telah membantu biaya SPP saya. Saya tak ingin membuat orang tua saya kecewa, mereka harus bangga mempunyai seorang anak yang nekad untuk kuliah dengan jerih payah dan keringat anak bersama kedua orang tuanya.
Setiap kali mengingat kampus Universitas Negeri Semarang itulah, semangat saya jadi membara. Bahwa saya harus survive sebagaimana dulu saya jalani. Saya tak takut gagal, mungkin dengan itu saya tahu cara untuk berhasil. Saya akan tetap mengenang kampusku yang jauh di Sekaran sana, meskipun sekarang saya di New Zealand.
Nah, ini akan banyak Anda temukan saat mau menyeberang di traffic light di Wellington pada khususnya dan New Zealand pada umumnya. Pertama kali saya mau nyebrang jalan di Wellington saya juga bingung, kok semua orang pada mencet tombol yang tertanam di tiang lampu traffic light yah. Ooh..., ternyata itu tombol khusus untuk para pedestrian.
Wah kapan ya di Indonesia ada kayak begini. Yah, memang sistem pedestrian di Indonesia masih mengandalkan lampu merah kuning hijau yang dikendalikan oleh timer. Kalau di Wellington, sudah ada tombolnya untuk itu. Jika mau nyebrang, tinggal pencet, tunggu beberapa saat sampai lampu hijau bergambar orang berjalan menyala.
Jika mau menyebrang jalan di New Zealand hati-hati yah, mereka pada patuh hukum. Jadi kalau lampu tanda pedestrian boleh menyebrang menyala barulah menyebrang. Jika belum, hati-hati. Pastikan benar-benar jalur kendaraan lagi sepi atau kita ditabrak tanpa ampun karena kita yang melanggar hukum, menyebrang pada saat yang salah. Perhatikan lampu dan instruksi pada foto yang saya lampirkan di postingan ini.
Awalnya saya tidak terlalu suka ikan. Kesukaan saya pada ikan berawal ketika perusahaan tempat saya bekerja menugaskan saya untuk menghandle project Telkomsel dan Indosat di Area Sulawesi Tengah, yaitu di daerah Palu, Toaya, Palolo, Toboli, Kasimbar, Tada, Tinombo, Palasa, Parigi Moutong, Poso Sausu, Poso dan Tentena.
Hampir setiap hari Ibu Kos saya di Tada menyajikan menu ikan. Inilah adat orang Sulawesi Tengah. Dianggap tidak makan atau nggak ada lauk jika ikan tidak tersedia. Bagi saya sayur, tempe goreng, sambel dan telur ceplok sudah cukup. Tapi Ibu kos saya melarang saya makan hanya gara-gara nggak ada ikan.
Kesukaan pada ikan ini akhirnya berlanjut saat saya menikah, karena ternyata istri saya lebih suka ikan. Saking nyidamnya untuk makan ikan saya dan istri suka beli ikan segar pada hari Minggu di Sunday Market Wellington. Waduuh...kok jauh amat dari Palu kok lompat ke Wellington.
Saat pertama kali beli, istriku ngantri lama banget. Hampir ada 50 orang ngantri beli ikan di Wellington Harbour. Belakangan kami baru tahu kalau yang ngantri ternyata yang minta ikannya di fillet (diiris dan dibuang tulangnya), padahal kami mau beli ikan segarnya. Eeeh...nggak taunya yang mau ikan segar bisa langsung nylonong ke depan untuk beli tanpa beli ngantri. Padahal sudah ngantri setengah jam lagi. Semprul....
Jadi jika Anda mahasiswa mau beli ikan segar, datang saja ke Wellington Harbour pada saat Sunday Market. Harganya berkisar NZ$ 6.00 s/d NZ$ 14.00 perkilo tergantung jenis ikannya. Kalau mau dapat bonus satu ikan, datanglah pada saat siang menjelang Sunday Market tutup. Tapi saya nggak tanggung jawab yah kalau ikannya keburu habis. Hehe...
Jika Anda mau ke Yogyakarta tak ada salah download peta Yogya di sini.
Ada beberapa kenangan yang membuat saya begitu teringat dengan jalan Kali Urang Yogyakarta ini. Pertama saat saya masih single, belum menikah dan bekerja sebagai Site Engineer di sebuah perusahaan kontraktor ternama di Indonesia. Saat itu saya bersama teman-teman tinggal di daerah kampus UGM Yogyakarta tak jauh dari hotel Vidi 1, orang yang pernah ada Yogyakarta kebanyakan tahu jalan Kaliurang.
Saya suka berada di sana karena harga makanan yang murah meriah, laundry yang perkilo cuma Rp. 3.000 dan temen-temen yang asyik. Saat saya sakit gejala typus pun dekat dengan rumah sakit. Untuk yang satu ini saya ucapkan terima kasih kepada Agung Saputro yang telah mengantarkan saya yang lagi sakit ke rumah sakit. Calon istri saya saat itu sampai mau menyusul ke Yogyakarta karena sakit ini.
Lalu yang kedua saat sudah menikah, saya bersama istri dengan pekerjaan yang sama seperti sebelumnya. Kami dalam kondisi uang sangat pas-pasan mencari hotel yang bisa dipakai untuk tempat menginap barang semalam. Pengantin baru yang ingin bulan madu dengan uang pas-pasan. Akhirnya kami dapat hotel dengan harga Rp. 90.000/malam, di Jalan Kaliurang juga. Tapi amit-amit kotor banget, di sprei banyak sekali bercak-bercak yang saya tahu itu bercak sperma.
Saya kasihan sekali pada istriku karena gatal-gatal setelah tidur di sana.
Hehe..., dasar mahasiswa. Carinya yang murah mulu. Ya itulah kami, berdua sama istri suka cari barang dan belanjaan yang murah dengan kualitas yahuud.
Itu pula yang kami lakukan di Wellington, New Zealand. Hari Minggu sekitar jam 11.00 saya berdua sama istri suka membeli stock belanjaan selama seminggu di Sunday Market. Ini tempat favorit kami dalam berbelanja. Selain harganya murah, fresh dan yang jelas jalan-jalan di pagi hari.
Berjalan dari flat di Drummond Street menuju Sunday Market di kawasan Wellington Harbour membutuhkan waktu sekitar 25 menitan. Kalau naik bis sih bisa juga bayar NZ$ 1,50 tapi kan sayang. Di sana kami biasanya membeli ikan segar, sayuran, buah-buahan, dan bumbu.
Hal yang paling menggiurkan di sini sebenarnya adalah CABE. Tau cabe kan? Itu loh, yang rasanya pedas. Kami berdua orang Indonesia yang keranjingan makan pedas, apalagi istriku keturunan Padang totok yang tiap hari selama di Indonesia makan pake sambal. Ngubek-ngubek Kota Wellington Anda akan kesulitan menemukan cabe yang cocok dengan kantong kami.
Kadang sekilo cabe yang sudah difrozeen harganya mencapai NZ$ 30 (Rp. 180.000), hehe nggak dehhh.. Nah di Sunday Market kami bisa beli cabe perpack kecil sekitar NZ$ 2.00 yang cukup untuk bumbu 3 hari. Hehe..., kalau sudah begini, dapat cabe baru bilang Indonesia banget.
Maklum saja orang di sini kan nggak suka pedas. Saus buatan Indonesia yang menurut kami terasa manis saat kami kasih ke mereka malah kepedasan. Itulah bedanya lidah made in Indonesia dan lidah made in New Zealand. Bedanya pada saat makan cabe....Hehe...
Sudah lama nggak upload postingan, soalnya kemarin lagi ngubek-ubek mencoba daftar Google Adsense. Tapi dari 6 yang di apply, keenam-enamnya di tolak. Syukurlah... Enam kali belajar gagal. Alhamdulillah aplikasi yang ketujuh dan kedelapan diterima.
Pesan saya, jangan lupa mendownload link-link yang saya sediakan. Kalo teman2 mendownload melalui link-link yang saya sediakan di beberapa postingan saya bersyukur. Teman-teman mendownload, berarti saya dapat beberapa sen dollar. Hehe....
Kalo mau coba, klik aja download di sini. Itu isinya Peta Yogyakarta kok. Kan lumayan, kalo Anda download berarti bantu biaya kuliah saya.
Oh iya, dalam postingan kali ini saya ingin menyampaikan beberapa informasi tentang website-website yang menyediakan informasi tentang pekerjaan part time atau pekerjaan full time. Utamanya yang ada di New Zealand, dan Wellington pada khususnya. Di simak yah.
TradeMe, untuk ini Anda bisa mendapatkan informasi pekerjaan part time dan full time di New Zealand. Kalik aja linknya di http://www.trademe.co.nz/category_index.htm#TradeMeJobs. Mudah kok, coba aja yah. Tinggal klik jenis jobnya, waktu kerjanya dan area kerjanya. Lumayan komplit deh, dari barang baru, barang bekas/second sampai tetek bengek yang aneh-aneh juga bisa Anda dapatkan dari TradeMe.
Seek.co.nz, Anda bisa mengklik link ini http://www.seek.co.nz. Caranya nggak jauh beda dengan TradeMe.
Job yang disediakan pemerintah New Zealand, ini sih jarang dibuka di sini. Tapi bisa menjadi alternatif. Klik aja di link ini yah http://www.careers.govt.nz/. Situs ini agak ribet sedikit, cuma kalo sudah biasa buka lama-lama juga enak kok.
Student Job Search, disingkatnya SJS. Link ini memang dikhususkan untuk para student, buka aja di http://www.sjs.co.nz/. Anda tinggal masukkan kategori pekerjaan dan region/area yang Anda inginkan, lalu klik Search. Wuz...wuz...job akan keluar. Mudah-mudahan ada yang cocok dengan Anda.
Ini namanya agak susah, tapi bisa Anda klik linknya di sini http://jobs.nzherald.co.nz/. Kalo yang ini saya baru buka beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Anda yang mencoba yah and then give me the info about that, okey?
Aku cinta Semarang. Inilah kata-kata pertama yang muncul dalam benak saya. Selama lima tahun saya menghabiskan waktu di kota ini untuk menyelesaikan kuliah jurusan Teknik Sipil saya. Sampai akhirnya saya nyangsang (nyangkut) di hati seorang mahasiswi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, kota Depok nun jauh di barat sana. Istri yang selalu menemaniku di kala susah dan senang, she is my lovely wife.
Saya masih ingat betul dengan dosen-dosen saya seperti Pak Saratri Wilonoyudo, Pak Ispen, Pak Lashari, Bu Sri Handayani, Pak Nur Qudus dan dosen-dosen lainnya. Pokoknya saya ucapkan terima kasih atas bantuan mereka semua.
Saya suka kekhasan kota Semarang. Ada Lumpia di Jl. Pandanaran, sego (nasi) kucing di dekat kampus, Masjid Agung, Gereja Blenduk, Gunung Pati (hehe... ini sih kampus saya) dan kawasan Kota Tua nun indah yang sekarang sering kerendam rob. Tidak tahu kapan pemerintah daerah bisa memanfaatkan kawasan itu dengan baik dan menjadikannya obyek wisata yang mengagumkan.
Simpang Lima, ya inilah tempat favorit saya dulu. Sembari nongkrong di Masjid Agung Simpang lima saya suka menikmati pemandangan saat malam hari. Mau jajan? Hehe... saat itu masih mahasiswa jadi cuma melihat saja. Bagi saya Simpang Lima adalah bagaikan Manners Mall atau Cuba Street di Wellington New Zealand. Bedanya kalau di Semarang masak pakai cabe, kalau di New Zealand cuma pakai lada. Nggak pedes..., nggak Indonesia banget.
Pagi itu, hari Selasa 7 Oktober 2008 saya bersama istriku cukup sibuk mempersiapkan keberangkatan ke Jayapura.Satu koper kecil dan satu tas punggung kecil saya jejali dengan pakaian yang akan kami pakai selama lima hari di Jayapura nanti, sementara laptop saya masukkan tas Bodypack butut kesayangan yang memang khusus untuk laptop. Istriku sedang sibuk mengemasi satu tas plastik yang ia isi makanan dan minuman yang akan kami bawa. Saya sendiri menyetrika baju yang akan kami pakai untuk keberangkatan hari ini. Ibu mertu saya juga ikut sibuk membungkus nasi yang akan kami bawa sebagai bekal selama perjalanan.
Jam sebelas siang istriku berangkat ke kampus UI untuk mengambil biaya operasional project penelitian GF ATM (Global Fund for AIDS, TBC and Malaria) yang akan kami jalani di Jayapura nanti. Hanya saja untuk project kali ini adalah khusus untuk project Evaluasi Malaria. Saya di rumah mengurusi tetek bengek yang nanti akan kami bawa. Obat Malaria juga kami siapkan, kami tidak ingin sepulang dari Jayapura juga kena Malaria.
Propinsi Papua adalah daerah endemic Malaria. Minyak kayu putih, balsam, obat sakit kepala, pembalut, sampo, sabun mandi, sikat gigi, odol, dan Antangin tak lupa juga sayasiapkan. Aku sendiri soalnya sering masuk angin jika perjalanan jauh. Saya menyiapkan semuanya bukan tanpa alasan, kata Bu Sunday guide kami yang sekaligus juga pegawai Dinkes Jayapura mengatakan kalau harga-harga di sana jauh lebih mahal dibandingkan di Bojonggede Bogor, tempat tinggal kami.
Jam tiga sore selepas ashar kami berangkat dari Bojonggede dengan naik kereta ekonomi, turun di Stasiun Pasar Minggu lalu naik bis Damri di terminal Pasar Minggu menuju Bandara Sukarno Hatta. Seharusnya kami check in jam delapan malam nanti untuk penerbangan Lion Air yang berangkat jam 22.10 WIB nanti, tapi kami tidak mau mengambil resiko terjebak kemacetan Jakarta yang bikin sakit hati, kepala puyeng dan terlambat check in. Amit-amit deh kalau sampai ketinggalan pesawat, ticketnya kan mahal. Untung ticket istriku ditanggung sama biaya project, kalau Aku kan pakai dana pribadi.
Alhamdulillah, akhirnya kami sudah dua bulan berada di Wellington, New Zealand. Kota yang sepi, dimana harga mobil hanya Rp.4 jutaan tapi harga motor sampai puluhan juta. Jadi di sini harga mobil lebih murah ketimbang harga motor.
Kota Wellington lagi windy (berangin) soalnya lagi autum (musim peralihan summer ke winter). Suhunya berkisar 12 derajat celcius, sejuk tapi panasnya juga terik. Kotanya tenang banget, hampir nggak ada traffic light di sini, semuanya benar-benar berdasarkan kesadaran pengemudi mobilnya. Jadi saat ada persimpangan, masing-masing pengemudi seakan sudah tahu harus memberikan kesempatan mobil yang lain untuk lewat. Dua bulan lalu, tepatnya tanggal 31 Januari 2009 kami berangkat dari Jakarta jam 20.45 WIB. Bersama istriku tercinta kami dari Bojonggede diantar oleh ayah mertua, saudari kembar istriku dan adikknya. Sampai di sini jam 02.30 pm 1 Februari 2009.
Masuk imigrasi bayar fiskal Rp.2,5 juta. Sebenarnya bisa sih gratis dengan menunjukkan NPWP yang sudah dibuatkan oleh perusahaan tempatku bekerja dulu. Tapi dampaknya kalau aku kerja, gajiku di New Zealand bakalan kena potong pajak dengan standar pajak Indonesia. Akhirnya kami putuskan tidak pakai NPWP untuk bayar fiskal.
Sampai di depan ruang tunggu Qantas Airways kami masih bawa dua botol Aqua. Padahal membawa cairan lebih dari 200 mililiter dilarang masuk, jadi dua botol itu kami habiskan berdua dengan istri. Perut jadi kembung karena air.
Ini pertama kalinya kami naik Airbus. Pesawat lumayan gedhe dengan fasilitas yang cukup komplit. Nyaman.
Dari Jakarta sampai Sydney membutuhkan waktu 7 jam 40 menit. Jam 07.10 waktu Sydney kami tiba di Sydney, bandara yang menurutku masih bagusan Bandara Hassanudin Makassar. Pemeriksaan imigrasi dan barang bawaan ekstra ketat. Tas dibongkar, gunting dibuang dan laptop harus dikeluarkan dari tas untuk pemeriksaan. Nyebelin.
Jam 09.40 Sydney kami terbang menuju Wellington dengan lama penerbangan 2 jam 50 menitan. Jadi lumayan sih ga terlalu lama, soalnya sudah capek.
Kami tiba di Wellington, New Zealand jam 14.00 waktu setempat dan harus menjalani pemeriksaan bagasi lagi. Bagasi yang berisi makanan harus dibongkar, di Pilihannya ada tiga. Declare your bringing, or dispose your bringing into trash box..dan yang terakhir kalau nggak ngaku Kena Denda NZ$ 200, kalau dirupiahin kira-kira ya Rp.1,5 jutaan.
Untungnya ada orang Indonesia yang jadi Officer untuk pemeriksaan bagasi kami. Terimakasih untuknya, soalnya kalau nggak dibantu makanan favoritku dan istriku bisa dibuang semua oleh Supervisornya. Oh iya, kalau bawa visa student tunjukkin aja, itu bisa mengurangi hukuman kok.
Saat postingan ini aku upload kami masih menginap di penampungan, kos-kosan mahasiswa yang dulu kuliah di Wellington juga. Besok mudah-mudahan sudah bisa tinggal di flat baru kami bersama empat teman lainnya.
Terus tadi temen dari Makassar yang sudah enam bulan di sini ngajak kami jalan-jalan sebentar. Ternyata di sini ada kebiasaan barang bekas pakai tapi masih layak pakai yang nggak dipakai lagi ama pemiliknya dibuang di tempat penampungan agar bisa dipakai orang lain yang membutuhkan. Bisa dicontoh nih kayaknya ma orang Indonesia.
Dari tempat itu kami mengambil 2 buah cangkir, 2 buah piring, 4 buku fiksi berbahasa Inggris dan itu gratis. Hehe..., kami jadi pemulung soalnya bekal kami memang terbatas.
Student Visa kami sampai kuliah kami selesai. Biaya kuliah sudah beres, tapi untuk biaya hidup ya harus cari sendiri dengan bekerja part time bersama istriku. Habis kuliah kami harus kerja.
Hai kawan-kawan yang mau berangkat ke Wellington, New Zealand ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Terutama mengenai bawaan yang ada dalam bagasi dan yang akan dibawa naik ke dalam pesawat (tentengan). Pemeriksaan cukup ketat biasanya diberlakukan di bandara Syney dan Wellington (hampir semua wilayah New Zealand pemeriksaan bagasi sangat ketat). Nah, berikut ini beberapa saran yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan ada gunanya yah.
Masalah berat bagasi:
Secara umum, berat maksimum untuk bagasi adalah 20 kilogram dan tentengan 7 kilogram, meskipun kadang bisa ditolelir oleh pihak airlines jika tidak lebih dari 32 kilogram. Patokan 32 kilogram ini didasarkan pada kemampuan manusia mengangkat berat paling optimal ya sekitar 32 kiloan. Menurut saya sih nggak benar juga, soalnya orang Indonesia kan kecil-kecil dan kekuatan mengangkat bebannya kebanyakan kurang dari itu. Itu kan standar orang barat yang badannya segedhe-gedhe kulkas.
Jika lebih dari itu maka akan kena denda US$ 45, kalau dirupiahin mahal banget boo.. Jadi ada beberapa saran yang sudah sering dilakukan dan biasanya berhasil. Jika kita yakin bawaan kita melebihi kuota yang kita miliki, maka:
Datanglah untuk check in lebih pagi/awal sehingga pemeriksaan berat bagasi tidak dilakukan secara ketat.
Jika kita memakai visa student maka biasanya kelebihan bagasi di atas 20 kilogram tapi kurang dari 32 kilogram masih bisa diampuni oleh petugas check in bandara, maklum saja, student kan biasanya ngirit dan segala apa yang ada dari rumah diangkut semua. Ada mie, saos, kecap, magic jar, setrikaan dll. Weleh-weleh..., kayyak orang mau eksodus saja. Jadi petugas check in pun agak maklum. Kalau nggak maklum juga pasanglah wajah memelas dan berargumen yang masuk akal bahwa kita student dan benar-benar butuh itu.
Kalau temen2 yang berangkat banyak orang maka bisa saling membantu atau bagi-bagi beban sehingga berat bagasi bisa sesuai standar.
Kalau masih nggak ada jalan lain, bayarlah denda. Hehe....
Barang yang boleh dan tidak boleh di bawa, Declare, dispose or fine (denda):
Ini yang sering jadi pertanyaan pada temen2 cewek. Maklum saja mereka kan butuh banyak make up untuk dibawa. Minyak wangi, deodoran, hand body lotion, balsam, obat gosok, minyak kayu putih dll. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian teman-teman, ini langkah-langkahnya:
Cairan, obat-obatan dan makanan sebaiknya dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Begitu juga dengan alat-alat tajam seperti: gunting, pemotong kuku, pinset dan yang kira-kira tajam lainnya sebaiknya masukkan ke dalam bagasi. Soalnya saya kemarin bawa pemotong kuku kecil saja kedetect sama X-Ray di bandara Sydney, Australia. Pemotong kuku di minta petugas bandara dan tidak dikembalikan. Padahal transitnya cuma satu jam setengah.
Kalau ada cairan yang ingin dibawa dalam tentengan masuk ke dalam pesawat, maka sebaiknya kurang dari 200 mililiter. Lha wong saya bawa air dua botol mau masuk ruang tunggu di bandara Sukarno Hatta saja nggak boleh, akhirnya saya dan istri kembung gara-gara minum air dua botol sekaligus. Ada juga teman yang membawa handbody lotion dalam tentengan, tapi akhirnya dispose (dibuang ke dalam keranjang sampah, sayang kan beli mahal-mahal).
Jangan membawa sampel tanah dari negara asli, terutama yang menempel pada sepatu dan alat-alat olahraga. Kalau mau dibawa, cucilah dulu yang bersih dan tidak ada tanah yang masih menempel, atau petugas bandara Australia dan New Zealand akan membuang sepatu Anda.
Declare semua barang yang Anda bawa jika menurut anda meragukan. Saat kita masuk pesawat dan pesawat akan transit di satu negara maka pramugari/ra akan memberikan check list isi bagasi kita. Barang2 yang menurut kita meragukan dan masuk dalam list pada checklist sebaiknya kita declare (beritahukan), atau kena denda cash NZ$ 200, ya kira-kira Rp. 1.200.000,00.
Barang yang dianggap meragukan oleh New Zealand dan Australia antara lain: obat-obatan (harus membawa resep dokter kalau memang bawa obat, kecuali obat-obatan ringan), di larang membawa makanan basah (daging, sayur mentah, daging matang, sosis dsb).
Kalau bawa makanan dari Indonesia, pilih yang kering saja dan ada kandungan isi makanannya (ingredient) apa saja. Kalau itu makanan kering buatan sendiri sebaiknya bungkus yang rapi dan ketik ingredients-nya apa saja, tempelkan pada makanan tersebut. Contohnya ada temen yang membawa Jahe bubuk maka cantumkan saja 100% jahe kalau memang nggak ada bahan lainnya. Dalam bahasa Inggris loh yah.
Saat kita naik pesawat dari Sydney menuju Wellington, kita pasti diberi check list isi bagasi kita apa aja. Nah kalau ragu dengan bawaan kita berdasarkan check list yang diberikan, maka declare saja (artinya kita ragu/menyadari bahwa kita membawa barang yang menurut pemerintah setempat berbahaya, daripada dibuang atau didenda). Soalnya saat kita mau keluar dari bandara Wellington, seluruh isi bawaan (bagasi, tas dan tentengan) pasti dibongkar sama mereka dan ditanyain satu persatu. Capek kan.
Yah, itu dulu yah. Kalau ada yang perlu ditanyakan kontak saja yah melalui comment di bawah ini.
Ada beberapa hal yang membuat saya terkesan saat berada di Wellington, New Zealand. Kota ini seakan-akan berjalan sangat lambat. Beda sekali dengan ketika saya berada di Depok atau Jakarta. Kota di Indonesia yang super sibuk dan super macet. Waktu dalam sehari sepertinya berjalan sangat cepat.
Ada perbedaan definisi macet versi Indonesia dan versi New Zealand. Dasar orang Indonesia, hal yang sebenarnya di sini menurut pandangan orang Indonesia belum macet, tapi orang sini sudah bilang macet parah. Hehe..., saya juga jadi serba bingung.
Banyak hal-hal paradox juga yang saya temukan di sini. Tapi saya belum bisa cerita sekarang, mungkin lain kali aja. Karena masih dalam proses analisa.
Ketepatan waktu sangat dihormati di sini, karena kita memang sangat mudah mencapainya di sini. Kota yang hampir tanpa ada kemacetan. Orang Indonesia yang ada di sini pun akhirnya ikut terbawa irama itu.
Jalan-jalan didesain sangat mudah untuk dilalui oleh orang-orang cacat, apalagi orang-orang normal dan sehat. Jika Anda keranjingan skate board dan bersepada, di New Zealand mendukung untuk itu.
Trotoar untuk akses pedestrian (pejalan kaki dan orang cacat) di desain sangat mudah untuk dilalui. Beda sekali dengan di Indonesia yang trotoarnya memiliki level lebih tinggi kadang sampai 20 cm, jangankan untuk orang cacat dan kendaraannya, untuk jalan orang normal saja bisa kesandung-sandung alias nggak nyaman.
Jika hari Sabtu malam minggu, kebanyakan orang di sini mengadakan party, atau minum-minuman keras. Inilah yang alhamdulillah tidak atau jarang kita temukan di Indonesia. Udara yang dingin di sini mungkin mendukung untuk melakukan itu. Hari Minggu pagi, cobalah keliling kota. Maka Anda menemukan banyak botol atau pecahan botol berserakan di mana-mana. Kadang bekas muntahan orang mabuk juga mudah kita temukan.
Orang di sini suka jalan kaki, jarang saya temukan orang sini yang mengalami obesitas. Kaki wanita dan gadis di sini indah-indah karena terbentuk saat berjalan kaki. Cowok-cowoknya juga banyak yang ganteng dan berbadan cukup atletis, ini karena di sini mereka suka olah raga.
Anda tidak akan sulit menemukan orang seperti Brad Pitt atau Tom Cruise di sini. Sangat mudah. Jika Anda penggemar Angelina Jolie atau Scarlet Johanson, di sini juga banyak yang lebih cantik dari itu. Orang berbadan seperti Pamela Anderson juga sangat banyak di sini.
Budaya pacaran di sini juga sangat berbeda dengan di negara kita. Di sini cowok dan cewek meskipun sudah pacaran, makan malam bersama ya bayar sendiri-sendiri. Asas kemandirian masing-masing kayaknya ada di benak mereka. Jadi, kalo Anda mau pacaran di sini jangan khawatir akan bangkrut cepat. Hehe....
Kota Wellington adalah kota kecil, dengan penduduk kurang lebih 350.000 jiwa, kalah besar dengan kota Solo yang mencapai lebih dari 500.000 jiwa di tahun 2003. Sedang Auckland hanya mencapai 1,3 juta jiwa, sekali lagi kalah besar dengan penduduk kota Semarang yang berpenduduk lebih dari 1,4 juta jiwa di tahun 2005.
Saya pribadi sebenarnya berharap, ibukota negara dipindahkan ke kota yang lebih kecil. Jakarta sudah tidak efektif lagi menjadi pusat pemerintahan. Kesibukan, kemacetan, bising dan ketidaknyamanan tentu bukan alasan utama. Tapi lebih kepada pemerataan kesejahteraan. Mau tak mau saat kota kecil berubah menjadi ibu kota negara, tentu akan membangkitkan geliat ekonomi baru.
Yah,,,begitulah. Masih ada banyak hal yang harus saya pelajari disini dan kemudian mudah-mudaha bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Saya merindukan Indonesia, keluarga, makanannnya, panasnya dan cabenya.
Hehe..., ini dia pusat kota yang mungkin saya impi-impikan. Jalur pedestrian yang lebar, dengan bangku-bangku tempat duduk yang tersedia, tidak becek, dengan lantai paving blog mengkilat bercat merah layaknya Cuba Street. Ini Manners Mall.
Manners Mall dekat dengan Cuba Street, Courtenay Place, Te Papa Museum, Wellington Harbour, Michael Fowler, dan Museum of Wellington and Sea. Saya suka ke sini karena sekolah saya di sini. Hampir setiap hari ada pertunjungan menarik di Manners Mall. Dari pengamen yang menabuh drum sampai menendang-nendang telinga, terompet Scotish, gitaris, pesulap, dan pedagang ticket juga kadang nongol di sini.
Beberapa muda-mudi New Zealanders suka datang ke sini untuk janjian sebagai tempat bertemu. Anda akan menemukan berbagai gaya berpakaian warga Wellington. Cukup bagus juga sih. Silakan berkunjung ke sini jika Anda mau.
Cuba Street, jalur pedestrian yang sungguh menyenangkan. Anda bisa mendownload petanya di sini.
Cuba Street, Wellington Selandia Baru adalah salah satu titik pusat keramaian di kota Wellington. Saya yang pernah bekerja sebagai Asisten Chef di Mr. Bun Bakery and Coffee Shop di area ini sempat merasakan betapa gempornya kaki ini karena saking sibuknya. Kedua jempol kaki dan jari telunjuk kaki saya sampai hitam karena kelelahan yang amat sangat.
Di sini Anda bisa menemukan banyak restoran, pusat-pusat perbelanjaan dan terutama Kiwis (orang yang asli hidup di New Zealand) yang sedang makan, mengadakan pertunjukan, bercengkrama dan sebagainya. Saya kadang membayangkan kapan ya kota Depok dan Semarang dibikin kaya gini. Hehe....
Banyak turis yang mengunjungi tempat ini, jadi jika Anda mau ke Wellington saya sarankan juga berkunjung ke sini. Di sini juga dekat dengan pusat keramaian lain. Hanya butuh 5 menit jalan untuk menuju Te Papa Museum, Wellington Harbour, nonton film di Reading Cinema dan makan-makan di Courtenay Place. Mantap deh pokoknya. Oh iya, di sini juga cuma satu menit jalan kaki menuju Manners Mall.
Download peta kota Wellington di sini. Dan download peta Botanic Garden di sini.
Botanic Garden di Wellington adalah salah satu tempat yang menurut saya terbaik untuk Anda kunjungi saat berada di Wellington New Zealand. Akses ke sana sangat mudah. Cukup naik cable car/bis seharga NZ$5 kita bisa berkunjung ke sana. Tiket bus ini sudah PP kok.
Untuk masuk ke dalam sana, gratis tis-tis kok. Jadi jangan khawatir. Mulai buka kalau nggak salah jam 09.00 pagi sampai jam 05.00 sore.
Ada beberapa tempat yang menarik yang bisa Anda kunjungi antara lain Kebun Bunga Mawar seperti yang Anda lihat di foto ini, lalu cable car (tapi bayar 1 dolar untuk student), rumah pohon dan suasana yang benar-benar nyaman. Rugi deh kalau Anda datang ke Wellington tapi nggak berkunjung ke sini.
From Heritage walks to river trails and rugged coastal walkways, Wellington offer some wonderful opportunities for walkers.
Walking arround Butterfly Creek is about 2 hours return. The Kowhai track in Eastbourne take walkers over a ridge with spectacular views of the Wellington Harbour, to be peaceful bush-clad valley of Butterfly Creek. The picnic spot in a clearing by the creek is a popular stop-off point for walker.
Wellington's Citizen very enjoy their sport. They like Rugby, cricket, and dragon boat. These pictures show the atmosphere when Dragon Boat Festival held on Sunday, 22 March 2009 in Wellington Harbour. Although the weather was not good because very cold about 9 degree Celsius the spectator didn't recking of the weather. The participants of festival were very enthusiasm.
Indonesia have many temple archeological remains. One of them is Dieng Temples Group, consists of four group of temple. Located in Dieng Plateu, Central Java.
ARJUNA TEMPLE This Temple Group is consisted of five temples which are built in two parallel lines.The eastern line consist of four,mostly facing westward respectively the temples of Arjuna,Srikandi,Puntadewa and Sembadra.While, the western line temple which stands face to face with Arjuna Temple.At these temple are depicted about the accon panying Dieties of Siwa.While at the Srikandi is depicted on the recess of the temple about all the main deities if Hinduism,they are Brahmana,Siwa and Wisnu.
GATOTKACA TEMPLE Group of Gatotkaca Temple located in foothills Pangonan, on the westside of Balekambang Lake. Initially, this group consisted of. 6 temples, there are Sentyaki Temple , Petruk Temple , Antareja Temple, Sadewa Temple and Gantutkaca Temple. According to its architecture,gatotokaca Temple was built after Srikandi Temple. This matter look from way of doorstep location, foot/feet, number of alcove, building layout.
BIMA TEMPLE Group Temple of located Bima about 750 metre toward the south Temple of Gatotkaca Bima temple built in 6 AD is unique in two respects. Apart from its resemblance to the temple architecture of India, Bima temple also has a gate that looks to the east, while other temples on the plateau looks toward the west. It is believed that this site was a holy site, or a point of contact with the immortals. That's why, propagators of Hinduism from India built a spiritual center at this location.
DWARAWATI TEMPLE Group of Dwarawati Temple located between others temples, built in slope of mountain bukit Perahu. In this location, in the past time there are two temple Dwarawati and Parikesit that restorated in 1955 and 1980. Dwarawati Temple has the size of groun plan 5,3 m X 5,3 m. Those temple look like Gatotkaca temple. Located 1 Km from area of Arjuna Temple.
Gedong Songo is the one of many ancient temples in Central Java, only about 2 hours trip from Semarang by car. Located at the Mount Ungaran. If you interesting to go to Gedong Songo Temple, visit this link.
Gedong Songo (nine buildings), a group of small 8th century Hindu Javanese temples, can be reached either by car or on horseback from the town. Built at about the same time as the temples of the Dieng complex, Gedong Songo is one of the most beautifully sited temple complexes in Central Java and the views alone are worth the trip. Gedung Songo ('Nine Buildings') belong to the earliest antiquities of Java, they follow up the temples on the Dieng Plateau directly, for what about time.
They were also built high in the mountains in an area full with volcanic activity; and they were also from Hinduist origin. But where the temples on Dieng Plateau are somewhat squeezed into a foggy valley, Gedung Songo are spread over the higher parts of the mountains, which guarantee a splendid view. On clear days, the horizon is one long row of volcanoes, from mount Lawu in the east, towards mount Sumbing, mount Sundoro and Dieng Plateau in the west.
The temples were built between 730 and 780, the first temple excepted, which could have been built some 30 years later. Gunung Songo is not the original name and also doesn't point at the number of structures. The number nine has a special meaning in the Javanese culture, in which there is a strong attachment to numbers. The temples are located at about the same distance from each other (100 meters, 200 meters) on a naturally formed terrace of edge of a mountain.
It was a lovely morning along this stretch of beach nearby to the Mount Maunganui at Tauranga, in the Bay of Plenty at the North Island of New Zealand.
One of New Zealand's most popular beaches, this beach had white sand and was as you can see really clean, with clear skies and the bluest of water.
Bali is the famous island that Indonesian people own. Its the great island, Bali is more famous than Indonesia. There are more people talk about the beautiful of Bali Island than Indonesia.
Bali also have unique culture that prevented from modern culture. The Bali citizens has been take care their culture look like what their parents did.
Bali provide many interesting places that you can visit there such as Tanah Lot, Garuda Wisnu Kencana Statue, beautiful Beach and Coast (Sanur Beach and Kuta Beach).
In Buleleng, part of Bali region you can find the beautiful mountain, old Pallace Puri Agung Singaraja (original uniq architecture of Bali island), and the others beautiful place that we can find there.
The Wellington Botanic Garden features 25 hectares of unique landscape, protected native forest, conifers, specialized plant collections, colorful floral displays, and views over Wellington city. It is classified as a Garden of National Significance by the Royal New Zealand Institute of Horticulture and is an Historic Places Trust Heritage Area.Entry is free. So we can invite go there with our family.
Open Hours Garden: Daily Dawn to dusk Treehouse Visitor Centre: Monday - Friday 9.00am - 4.00pm (Closed weekends and public holidays)
Begonia House Gift Shop: October - March Daily 9.00am - 5.00pm April - September Daily 9.00am - 4.00pm (Closed 1 and 2 January, Good Friday, 25 April until 1.00pm, 25 and 26 December) Location The Botanic Garden is minutes from downtown Wellington, and is easily accessed.There are many entrances to the Garden including from Tinakori Road, Glenmore Street, Salamanca Road, Upland Road and the Cable Car. Its only 10 minute from Wellington Central if we go there by Cable Car.
One of the biggest Festivals in New Zealand. Renowned world wide as a great festival venue, Wellington harbour can sure throw a mean party for the competitors when it wants to.
A Click A Day For PC Clean, Repair, Protection & Optimization. Advanced SystemCare Free (formerly Advanced WindowsCare Personal) has a one-click approach to helping protect, repair, clean, and optimize your PC. With over 20,000,000 downloads since 2006, this fantastic, award-winning, free program is a "must-have" tool for your computer, 100% safe and clean with no adware, spyware, or viruses.
Survive the ancient temples of Zuma, the critically acclaimed action-puzzler from PopCap! Deep in the jungle lie hidden temples bursting with traps and trickery, and it's up to you to uncover their treasures. Fire magical balls from your stone frog idol to make matches of three or more and clear the deadly chain before it reaches the golden skull.
11.13
Diposting oleh
Andoyo dan Eflita Meiyetriani
Label:
Museum
This is popular Museum tells the stories of Wellington. We can find many things that very unique about Wellington story in the past time. TraditionalMuseum techniques combine with stunning special effect, movie, and interactive exhibits to take you on a journey through Wellington’s History.
The dramatic story about Wahine Disaster also we can find here. The film about Wahine Disaster showed here. On the morning of 10 April, 1968, Cyclone Gicelle hit Wellington at the same time as another storm which had driven up the West Coast of the South Island from Antarctica. The two storms met over the capital city, creating a single storm just as the inter-island ferry Wahine was crossing Cook Strait.
The Wahine had left Lyttelton at 8:40 pm the night before, carrying 610 passengers and 123 crew. There had been storm warnings, but nothing to say that this storm would be any worse than other winds in the strait well known for its rough seas.
The ferry travelled up the east coast of the South Island and headed for WellingtonHarbour. By now the winds were gusting at between 130 and 150 kilometres per hour.
At 5:50 am on the morning of 10 April the captain of the Wahine, Captain Hector Robertson decided to enter the harbour. Twenty minutes later the ferry was alongside Pencarrow Head. The winds had increased to 160 kilometres per hour, and those on board could only see for a distance of 800 metres. On board the Wahine the radar system was no longer working.
A huge wave pushed the Wahine off course and in line with Barrett Reef, and the captain was unable to turn back on course. The force of another massive wave threw him across the bridge of the ship. He decided to keep turning the ferry and try to bring the Wahine around and back out to sea again. For 30 minutes the Wahine fought the waves, but by 6:40 am had been driven back onto the rocks of Barrett Reef.
The Wahine founders off Steeple Rock near Seatoun, Wellington, 10.4.68. Dominion Sunday Times Special Edition. Most of the passengers did not realise that the ferry had struck rocks because they could tell little difference between that impact and the battering the ship was receiving. Captain Robertson ordered the closing of all watertight doors and dropped both anchors when he learnt that none of the engines was working.
Passengers were told that the ferry was aground on the reef, and to put on their lifejackets and report to their assembly points around the ship. The accident was reported to the signal station at Beacon Hill, just above Point Dorset, and the crew prepared the life-saving equipment. Flooding was reported in four compartments and the vehicle deck, which could affect the stability of the ship. As the intensity and power of the storm grew, the winds increased, and the Wahine dragged its anchors. At this stage the weather was so bad that no help could be given from the harbour or the shore.
Gradually the Wahine drifted further down the harbour, until she was just by Steeple Rock, off Point Dorset. By now a tug had set off from QueensWharf to try and reach the Wahine. At about 11:00 am a line from the tug was used to try and tow the ferry, but the line gave way. Other attempts failed, but the deputy harbourmaster managed to climb aboard the Wahine from the pilot launch which had also reached the scene. At about 1:15 pm the combined effect of the tide and the storm swung the Wahine round so that there was a patch of clear water sheltered from the wind and the sea on the starboard side. This was on the side towards which the ferry was leaning more and more.
Captain Robertson had not considered abandoning the ship earlier because he felt it was safer for the passengers to remain on board, given the storm conditions. But now the order was given to abandon ship. Passengers, not told before how serious the situation was, were now confused and frightened. People slid across the sloping deck, trying to make their way to the lifeboats. Only the four starboard lifeboats could be launched, and crewmen tried to get as many people as possible onto them. One lifeboat was swamped when it hit the water and people were lost into the sea. Some managed to hold onto the boat as it drifted across the harbour to the eastern shore.
Other boats were also swamped but many of the passengers were able to reach the small rescue boats which by now were surrounding the Wahine. Some people tried to make their own way ashore, jumping from the Wahine's decks. Others reached the inflatable life rafts which had been thrown overboard, but several of these were punctured in the wreckage.
The waves of the sea were still battering the ferry, and people in the water struggled to keep hold of wreckage or the sides of the lifeboats. The captain and deputy harbour master were the last to leave after checking that no one remained on the ferry. They were in the water just by the wreck for an hour before being rescued.
At about 2:30 pm the Wahine rolled completely onto her side. By then the first of the survivors were reaching the shore at Seatoun. Rescuers there helped the passengers ashore, not realising the extent of the disaster. Other survivors drifted across the harbour to Eastbourne, where over 200 survivors eventually landed. The road to Eastbourne had been blocked by a slip, and rescue teams were delayed in reaching the coast, but were there in time for the flood of people who struggled through the surf to safety. 51 people died in the disaster, most of them middle-aged or elderly. Some were drowned or died of exposure. Others were thrown against the rocks by the surf on the eastern shore and died then.